A (Sincere) Will

I don’t have to make him fall for me

And I don’t have to force me to always fall for him either

We’re two people, and both are different

We have our own destiny, and can’t push God to make it walk together

 

He can run, so can I

He can’t be dictated, me neither

I might be falling for him for several times: a month, a year, or a thousand years from now

 

But I will never take it for granted

I’ll let him go

 

 

Written on one day, 10th month from June.

For one person that’s still having the same place in every prayer of mine.

Traveling: It’s (Not) Always About Place

Traveling. Mungkin bakal mikirin Bali, Bandung, Malang, Surabaya, atau bahkan luar negeri pas denger atau baca kata itu. Iya.

Tapi traveling terbaik buat gue, bukan itu. Ya gue seneng lah pergi ke tempat-tempat baru dan bagus, tapi bukan itu yang terbaik menurut gue.

Yang terbaik itu waktu gue nge-guide temen-temen asing yang pengen jalan-jalan ke Solo. Keliling Solo aja. Walaupun dibarengi dengan googling, nanya ke mana-mana, dan ngasal aja, tapi ending-nya oke, dengan mereka yang bilang kalo mereka seneng di Solo dan Solo itu seru plus asik.

Barusan kemarin, Minggu (19/5) gue jalan bareng temen Singapura. Bukan temen murni, kaga lah kalo gue punya temen bule yang pure gue kenal sendiri hahaha

Temennya si @ghaniarizz waktu dia AIESEC di Taiwan. Dan si Singaporean ini ceritanya namanya Shawn. Dia lahir dari ayah Malaysian chinese dan ibu Singaporean chinese. Tentu ya dia chinese juga. Tapi kewarganegaraannya Singapura, dengan ayah yang pindah kewarganegaraan dari Malaysia ke Singapura.

At first, gue bingung. Gue diem aja. Selama 2 jam gue cuma liatin Kiki, Laela, sama si Shawn karena gue belum tuned in. Heran deh gue ama diri gue sendiri, bisa-bisanya mendadak inggris gue ilang. Dan fase 2 jam yang terasa like a hell itu berakhir pas kita lagi di Mangkunegaran. Ada guide dari sana yang jelasin segala tentang Mangkunegaran: sejarah, arsitektur, benda-benda peninggalan yang ditemuin warga trus dibeli sama Pangeran Mangkunegaran, dan lain-lain.

Berakhirnya masa hell itu pas gue nerjemahin penjelasan si guide ke Shawn. Ya engga semua sih, tapi yang gue bisa dan itu penting aja walaupun aslinya semua penting hahaha *hush

Dan si Shawn ga banyak nanya, meaning penjelasan gue udah jelas. Oh my, itu sebagian hati gue merasa terharu loh karena bahasa inggris gue cucok juga buat jelasin soal sejarah wkwkwk

Kita keliling ke dalam Mangkunegaran, dan ada satu guide Mangkunegaran yang lagi jelasin macem-macem ke bule. Gue ngga ngeh itu pasukan karena gue fokus sama apa yang dijelasin sama Pak Joko. Oh iya, tour guide kita kemarin namanya Pak Joko. Ramah, baik, dan detil banget penjelasannya. Keren lah.

Eh terus terus, Shawn bilang: “Your English is very good. Better than that woman.” Dia bilang gitu sambil nunjuk-nunjuk si guide pasukan bule. Dan dia terus-terusan aja mencemooh di guide hahaha ya ampun, Domba gila -_-

Trus gue tanya: “You keep listening?”

Dia jawab sambil pasang muka ngejek si guide: “Ya, because her English is really bad. Yours is good, better than her.”

Dan setelah itupun dia terus aja bilang: “You can work here. You can get very high salary because you can explain very good. You can explain in Bahasa and English. You are good.”

Bhuahahahahahahahahahahahaha ih Shawn bisa aja :”

 

Sebenernya esensi dari (sok) nge-guide gue bukan mau pamer kalo gue bisa bahasa Inggris. Ya kalo soal pinter ngga pinter mah sama aja kaya istilah “ada langit di atas langit”. Tapi gimana gue belajar untuk terus ngomong bahasa Inggris. Beda banget ketika lo ngaku bisa bahasa Inggris atau written lo bagus tapi ngomong lo ngga kaya tulisan lo. Bedanya, serius ngga sih lo bisa bahasa Inggris?

Well, itu perasaan gue sih. Buat gue, ngomong itu harus sama bagusnya sama nulis. Kalo bisa dua-duanya seimbang yang progresnya nanjak. Apapun media lo buat improve itu.

Selain itu, gue bangga bisa memperkenalkan Solo ke orang lain terutama orang asing. I mean, kalo dia traveler domestik dan bisa bahasa Indonesia, wajar aja kalo dia paham sama penjelasan guide-nya. Yang bikin asik dan seru adalah ketika bahasa jadi kendala utama. Meaning, jelasin pake bahasa Inggris pun ngga segampang pake bahasa Indonesia kan?

That’s my point: bisa improve Inggris dan ngenalin Solo.

Dan gue bangga dan seneng banget ketika mereka bilang mereka seneng jalan-jalan di Solo. Apalagi Shawn udah nanya-nanya liburanya kapan. Dan pas dijawab akhir Desember atau awal Januari, dia bilang oke oke. Trus gue tanya: “What? You wanna come here again?”

Dia ngangguk-angguk. “Yes, of course.”

Aaaaaaakkkk can’t wait to see him again! Dan juga that the-one-that-got-away 🙂

 

Dan hari ini hari terakhir Shawn di Solo. Dia naik kereta jam 20.50 yang itu delay sampe sejam. Buset, udah bak pesawat aja tuh kereta Mutiara -_-

Kiki sama Laela keliatan sedih pas kereta Shawn udah dateng. Si Kiki bahkan udah siap nyobek tiketnya Shawn hahaha

 

But I know that feeling. Gue bisa banget dan ngertiin banget perasaan ky gitu. Gue pernah ngalaminnya pertama waktu Sunjin pergi ke Jogja setelah 2 hari di Solo. Kedua, dan ini yang paling nyesek, ada Rahid (Malaysia) trus Jason (Korea) sama Sebastian (Prancis) cabut ke Jakarta setelah dua hari juga di Solo. What a hell-alike situation, huh? Hahaha

 

But deep down I believe that everything happens for (a) reason(s). Gue yakin gue udah baik sama mereka selama mereka di Solo, meaning gue juga yakin mereka punya kesan baik soal Solo. Dalam hati gue juga berharap banget mereka bakal dateng lagi ke Solo atau gue punya kesempatan balik ngunjungin mereka di negara masing-masing. Amiiinnn 🙂

 

Ehm, kalo soal korban (sok) tour guide gue yang lain, gue bakal cerita tentang mereka di lain waktu yah 🙂

Sekarang udah malem, udah dua menit menuju midnight.

Ya udah deh, finally, selamat malam kamu! 😀

Selamat Malam Kamu

Selamat malam kamu, yang raganya tak kunjung bertemu

Selamat malam kamu, yang kunanti namun tak jua mengerti

Selamat malam kamu, yang sapamu tak jengah ku dengar

Selamat malam kamu, yang pesanmu kembali kubaca seiring harapan akan sebaris pesan baru

Selamat malam kamu, yang rinduku menjelma embun di kaca ruangmu

 

And when it’s closer to midnight, I’ll my last one…

A “good night”, for you. The only one I wanna say “I love you”.

 

 

chained on @amartinaa 🙂

May 13, 2013

The truth isn’t the truth until people believe you; and they can’t believe you if they don’t know what you’re saying; and they can’t know what you’re saying if they don’t listen to you; and they won’t listen to you if you’re not interesting. And you won’t be interesting unless you say things freshly, originally, imaginatively.

-William Bernbach

Dear You

Dear you,

 

If I might choose, I would gladly hold you in my arms and never let you go

If I might decide, I would surely cut this episode and go for the happy ending

And if I might dare, I would obviously punch you and kick you and fist you then hug you tighter than ever

Because I love you

As I need you in this life

 

But at this very moment, I only might do nothing

As I’m eager to crack somebody because of you

As I’m too sick to be the part of this drama or pretend to be okay while I’m totally not

 

I’m sorry, for all things that’s happening between us now

I’m sorry, for all things that I’ve done to you

I’m sorry, for all things that make us hurt and cry

I’m sorry, for being what I’m now and what you’re now

I’m sorry, maybe, for saying that I still love you

 

As always…

The “Let Go” Time?

I’ve been thinking for many days and many nights

About something that’s supposed to be done

About shitty stuffs that growing by days

About kinda damn things that should be over couples of weeks ago

 

You know where do I reach?

 

I really don’t wanna admit this

But I might come to the fact that sometimes you just have to let go

If they refuse to hold on to you

Then it means they’re not worthy being held on

 

That simple yet hell

Leave for Me. Anything!

Hello, guys! How are you?

Me fine here with all these crazy stuffs called colleger hahahaha

Thankyou for everyone that’s ever or often visits this blog. I really feel touched hehehe

So guys, I hope you enjoy the posts and please kindly leave any comment to the story that you think you belong to 🙂

Let’s rock the world with writing! 😀

 

Best Regards,

ecritez

Image

Fancy Fate?

Image

@amartinaa

 

 

“Kau tahu, ketika sesuatu terjadi dan itu hal yang di luar dugaan bahkan pemikiran tergilamu, percayalah sesuatu pasti tersembunyi di dalamnya. Hanya waktu, mungkin, yang akan menjawabnya. Juga otak warasmu sih…”

 

 

Pelajaran #1: Jangan Menguji Kewarasan Saat Mabuk!

 

Percayalah, ini sungguh tidak baik jika kau adalah orang yang sama sekali tidak bisa mabuk. Atau orang yang tidak bisa mengendalikan diri saat mabuk. Yah, mungkin itu kelihatan menyenangkan ketika bermesraan dengan seseorang yang kelewat tampan yang seketika tertarik padamu. Tapi, sekali lagi, bukan terlalu menyenangkan jika hal-hal yang seharusnya dilakukan atas dasar suka sama suka dengan penuh kesadaran beralih menjadi hal yang dikatakan sebagian besar orang sebagai “kecelakaan”.

 

And it was like a hell. Really a hell.

 

 

Helena Lively mual-mual lagi pagi ini. Oke, dia muntah lagi. Tapi bahkan ketika ia menunduk ke dalam kloset kamar mandinya, ia tidak ingin menggagalkan rencananya hari ini: bertemu Cho Kyuhyun, orang yang seharusnya bertanggungjawab atas perubahan dirinya—atau perubahan yang akan terjadi pada tubuhnya.

 

Ya, dia hamil. Hamil. Bisa dieja: h-a-m-i-l. Ya Tuhan, dia bahkan baru 20 tahun, usia seseorang untuk belajar minum dan mabuk. Tapi yang didapatnya dari proses belajar itu adalah seorang pria Asia yang ia tabrak ketika ia mulai limbung oleh alkohol, yang tersenyum ke arahnya dengan ketampanan tak manusiawi—yah, setidaknya saat itu sih. Selanjutnya adalah mereka sudah berada di ruang lain dari klub malam di daerah Tottenham Court dengan tangan yang saling meraba dan bibir terkunci dalam ciuman dahsyat dan membabi buta layaknya adegan film dewasa manapun.

 

Dan itu yang pertama bagi Helena. Hell yeah, itu sangat neraka ketika tiga bulan kemudian ia tak mendapati dirinya datang bulan. Lebih parah, ia harus selalu mual dan muntah di pagi hari sejak… bahkan ia tak tahu sejak kapan. Oh my…

 

 

Pelajaran #2: Lakukan Rencanamu Layaknya Dunia Tidak Tahu!

 

Hamil dengan seseorang yang bahkan nyaris tak kau kenal memang sangat neraka. Tapi lebih neraka lagi adalah ketika orangtua konservatifmu mengetahuinya. Ketika orangtua dari desa datang ke apartemenmu di kota sekedar untuk berkunjung, namun ternyata mereka mendapatimu sedang terkapar lemas di samping bathtub setelah muntah.

 

Jordan Lively tentu berang bukan kepalang. Ia bahkan nyaris mendamprat anaknya sendiri ketika Helena mengatakan bahwa ia sama sekali tidak tahu di mana dan dari mana pria itu. Mungkin ingatan jika Helena adalah anak satu-satunya lah yang membuatnya sedikit mampu menurunkan level emosi. Lebih mungkin ketika melihat Lidya Brooks Lively menangis sejadi-jadinya demi memohon agar tak ada kekerasan dalam keluarga mereka. Seperti janji dan usaha Jordan dan Lidya selama ini.

 

“Siapa pria itu?” tanya Jordan ketika amarahnya sedikit menurun. Ketika pria 68 tahun itu sudah bisa duduk dan menyeruput Earl Grey tawar panasnya.

 

“Aku tak kan memberitahumu,” jawab Helena sambil memeluk kedua lututnya dan menatap lurus cangkir tehnya sendiri.

 

“Kau bahkan tidak tahu namanya?” tanya Jordan lagi dengan amarah yang terdengar mulai menggelegak lagi.

 

Kali ini Helena menurunkan kedua kakinya dan menghadapi ayahnya. “Dad, aku tahu aku sudah mempermalukanmu. Tapi aku sudah memikirkannya selama ini dan sampai pada titik di mana aku akan merawat anakku sendiri. Tanpa ayahnya. Lagipula itu salahku: aku mabuk dan tidak bisa mengendalikan diri. Aku menerimanya. Jadi jangan tanyakan siapa pria itu lagi. Oke? Aku mengenalnya kok.”

 

Butuh beberapa menit bagi Jordan untuk mencerna kalimat tegas yang dikemas dalam suara lelah milik putrinya. Rasanya sekarang ia ingin meremuk sesuatu atau membunuh seseorang atau bahkan terdengar sangat menyenangkan ketika ia bisa mendengar tulang patah dari pria brengsek yang seenaknya menitipkan bakal manusia di janin anaknya.

 

Tapi Jordan beranjak dan keluar. Pulang kembali ke Blackpool tanpa pamit, yang diikuti secara tertatih oleh Lidya. Meninggalkan Helena dengan posisi yang masih sama, yang kini ikut beranjak.

 

Oke, dia harus tetap menemui Cho Kyuhyun.

 

Dan di mana ia akan bertemu pria itu? Apakah ia sempat mengingat detil perkataan Kyuhyun ketika asal-usul hanyalah bumbu manis dalam gelombang rayuan intim?

 

Ah, untungnya kala itu ia tak semabuk yang dunia kira.

 

“Cari saja aku di kantor cabang Samsung terbesar di London,” kata Cho Kyuhyun waktu itu.

 

Well, see you there, Asia!

 

 

Pelajaran #3: Siap Menemui Orang Sibuk, Nona?

 

Jawabannya: tidak.

 

Ya Tuhan, lihat itu. Orang-orang berjalan secepat badai angin menghempas. Ponsel dan piranti lain tak lepas dari tangan atau telinga. Helena termenung selama sekian menit di ujung halaman kantor Samsung di SWH 1205 itu. Bagaimana ia memulainya? Apa masuk begitu saja lalu meminta bertemu Cho Kyuhyun?

 

Baiklah jika memang langsung bertemu. Jika tidak? Masih bagus jika ia hanya akan menunggu dua jam hingga rapat pria itu selesai. Tapi bagaimana jika diajukan ini: Anda siapa? Apa keperluan Anda dengan tuan Cho Kyuhyun?

 

Wow, that’s gonna be soooo much epic. Isn’t it?

 

Semakin wow ketika Helena berani berkata: aku di sini karena bosmu menghamiliku dalam rangka one night stand, mengerti? Jadi sekarang panggilkan dia dan suruh menemuiku.

 

Tapi tentu saja bukan itu yang terjadi. Dan Helena terus mengutuk dirinya sendiri ketika kakinya seperti tak mau berhenti melangkah menuju meja resepsionis, yang disambut oleh gadis cantik berpakaian anggun warna biru kelam.

 

Ya ampun, bahkan nona penjaga meja depan ini lebih cantik dibanding diriku! batin Helena, kali ini merutuki penampilannya yang ala backpacker atau traveller dengan ransel kecil di punggungnya.

 

Tapi setidaknya gadis cantik itu tidak tahu dirinya sok traveller tapi hamil tanpa suami.

 

“Aku ingin menemui Cho Kyuhyun. Bisa?” jawabnya langsung tembak ketika si cantik bernama Ashley itu menanyakan keperluannya.

 

“Maaf, Miss…”

 

“Lively. Helena.”

 

“Ah… ya, Miss Lively. Apakah Anda sudah ada janji temu dengan Tuan Cho?”

 

Baiklah, ini salah satu babak yang harus dilaluinya.

 

“Belum. Tapi—“

 

“Mohon maaf, Nona. Tuan Cho hanya menemui janji temunya hari ini, tidak ada pertemuan mendadak.”

 

“Jam berapa dia menyelesaikan semua janji itu?”

 

“Mungkin hampir tengah malam.”

 

Shit! Ia sudah menyiapkan dirinya selama tiga bulan untuk ini, dan ia masih harus menunggu hingga tengah malam? Ya Tuhan, inikah yang dialami semua gadis dungu yang hamil dengan pria asing?

 

Tapi tidak, Helena tak boleh mundur. Selama apapun, se-tengah malam apapun Cho Kyuhyun menyelesaikan pertemuannya, pastilah ada saatnya pria itu sendiri dan luang. Tapi kapan?

 

“Hei, bisakah kau katakan pada Tuan Cho kalau aku di sini? Mungkin jika dia tahu ini aku, dia akan menemuiku. Sebentar saja oke kok. Bagaimana?” tawar Helena yang bahkan ragu dengan ucapannya sendiri.

 

Ashley mengerutkan kening dengan samar sambil memperhatikan Helena: remaja duapuluhan dengan rambut hitam legam dikuncir kuda, ransel merah kecil yang lebih mungkin berisi makanan dibanding baju seorang traveller, dengan kemeja santai berwarna hitam, dan celana kotak-kotak selutut sewarna susu. Sempat ia berpikir, apakah gadis ini salah satu gadis yang tidak terima ketika diputuskan oleh Cho Kyuhyun? Tapi dengan dandanan cuek seperti itu… tampaknya mustahil ini adalah tipe gadis yang akan dikencani bosnya.

 

“Tunggu sebentar, Nona,” katanya kemudian.

 

Kelegaan sedikit menjalari Helena ketika mendengarnya. Dan beberapa saat kemudian…

 

“Asisten Tuan Cho sedang memberi tahu kedatangan Anda. Mohon tunggu di kursi sebelah sana,” kata Ashley sopan dengan tangan terarah ke deretan kursi tunggu di lobby perusahaan elektronik itu.

 

Oke, tarik napas. Sebentar lagi kau bertemu dengannya. Lagi.

 

 

Sementara Helena menunggu dengan harap-harap cemas di lantai dasar, Kim Haesa masuk ke ruang rapat Cho Kyuhyun ketika Ian Somerhalder sedang menjelaskan konsep piranti elektronik go green-nya. Asisten wanita itu mengangsurkan selembar post-it ke samping Kyuhyun.

 

Seseorang bernama Helena Lively ingin bertemu dengan Anda.

 

Kyuhyun hanya membaca sekilas post-it dalam bahasa Korea itu, dan langsung tidak tertarik. Ia mengangkat tangannya sebagai tanda tidak ingin menemui siapapun selain dalam daftar temunya. Haesa mengangguk mengerti meski Kyuhyun tak melihatnya, kemudian keluar ruang rapat untuk menghubungi Ashley.

 

Sekitar tiga detik setelah Haesa keluar dari ruang rapat, sesuatu melintas dalam kepala Kyuhyun. Keningnya berkerut samar, mencoba mengingat nama yang terdengar familiar baginya. Lively. Helena.

 

Detik berikutnya ia melirik lagi post-it itu, dan ingatannya tertuju pada seorang gadis yang beranjak dewasa di suatu klub malam beberapa bulan yang lalu. Seorang gadis termuda yang pernah berhubungan satu malam dengannya. Gadis yang berasal dari pinggiran Blackpool yang menarik hatinya kala itu.

 

Kyuhyun menegakkan badannya, berbisik pada asisten manajernya bahwa ia ingin keluar sebentar. Song Joongki mengangguk mengerti, kemudian Kyuhyun keluar menemui Haesa.

 

“Lima belas menit lagi. Kantorku,” ucapnya singkat dan efisien, tepat saat Haesa menutup telepon yang menyambungkannya dengan Ashley. Lalu ia masuk kembali ke ruang rapat ketika Haesa mengangkat kembali gagang telepon antardepartemennya.

 

 

Pelajaran #4: Waktu Itu Cepat Atau Lambat, Sih?

 

Beberapa menit setelah lima belas menit yang dijanjikan Cho Kyuhyun adalah saat di mana Ashley menghampirinya dan berkata gadis pirang itu akan mengantarnya ke kantor pribadi Cho Kyuhyun di lantai teratas bangunan ini. Tapi Ashley menggunakan kata private room pada awalnya, yang mengundang ngeri di otak Helena.

 

“Private… room?” tanya Helena ragu sembari menyembunyikan kengeriannya.

 

“Private office, Miss Lively.”

 

Baiklah, kau mungkin akan sedikit bergidik jika ini menimpamu. Ruang pribadi yang awalnya digunakan oleh resepsionis itu mencetak bayangan samar ruang pribadi di klub Tottenham Court waktu itu. Ya ampun, sekarang Helena mungkin bukan saja si gadis belajar-mabuk-yang-gagal-dan-hamil. Tapi coba tambahkan kata paranoid di depan frasa panjang itu. Ya Tuhan…

 

Menit selanjutnya ia sudah ada di dalam lift bersama Ashley. Jantungnya berdegup terlalu kencang hingga ia takut Ashley bisa mendengarnya. Keringat dingin meluncur deras di punggungnya, membuat dirinya bersyukur memilih warna hitam untuk kemejanya.

 

Tapi ternyata Ashley memperhatikan hal itu. “Kau baik-baik saja, Nona? Kau terlihat pucat,” tanyanya khawatir.

 

“Aku baik-baik saja. Hanya… klaustrofobia, kau tahu?” jawab Helena asal sambil tersenyum memaksa. Itu alasan bodoh saja sih, hanya karena ia tidak ingin ketahuan sedang jantungan menghadapi ayah anaknya.

 

Namun tampaknya itu alasan jitu ketika Ashley tersenyum mengerti dan berkata dengan nada menenangkan, “Sebentar lagi kita sampai.”

 

Benar saja. Sebentar kemudian pintu lift membuka dan mereka keluar dan langsung memasuki sebuah ruangan besar yang terbagi dua: ruang bos dan ruang asisten yang tentunya jauh lebih kecil. Dan asisten Kyuhyun sudah berdiri di samping pintu kaca gelap dengan senyumannya.

 

Gadis cantik lainnya. Satu pertanyaan: apakah gadis jelek tidak akan diterima di sini walaupun ia pintar setinggi langit?

 

Mungkin Helena tak kan mengetahui jawabannya karena tangan Haesa sudah mendorong pintu masuk ke kantor pribadi Cho Kyuhyun. Dan ia masuk dengan jantung yang siap mencelos lepas dari rusuknya.

 

 

Pelajaran #5: Jangan Ragu!

 

Ruangan itu indah. Sungguh. Dengan nuansa Korea yang sangat kentara ketika sebuah lukisan negeri Ginseng itu terpajang di beberapa sisi dinding. Ada lagi, banyak yang lainnya, tapi itu bukan sesuatu yang layak dibahas otaknya saat ini.

 

Itu dia. Pria Asia yang tampan dengan tubuh menjulang berbalut kemeja hitam legam dan dasi kuning pastel. Jasnya sudah menggantung rapi di samping pintu tadi.

 

“Hai, kita bertemu lagi,” sambut Kyuhyun hangat dan ramah dengan senyum menawan—yang ternyata masih menawan. Tangannya terulur untuk menjabat tangan Helena.

 

Dan mereka berjabat tangan layaknya dua orang asing yang bertemu secara tak sengaja. Sedetik Helena menyesali keberadaannya dan mengalami situasi bumi-tolong-tenggelamkan-aku-sekarang-juga.

 

“Duduklah. Apa yang bisa kubantu?” kata Kyuhyun lagi sambil duduk di kursinya sendiri.

 

Helena sudah duduk. Lalu apa? Bagaimana ia memulainya? Dari mana ceritanya diawali?

 

“Miss Lively?”

 

“Uhm… Begini, Cho Kyuhyun—“

 

“Panggil Kyuhyun saja. Seperti waktu itu.”

 

Seperti waktu itu. Brengsek, waktu itu bukan seperti waktu sekarang!

 

“Oke. Kyuhyun. Terimakasih telah meluangkan waktu berhargamu untuk menemuiku.”

 

“Aku sedang luang kok. Maaf membuatmu menunggu.”

 

“Ya, aku mengerti. Kau sibuk. Ya.”

 

Kening Kyuhyun berkerut samar lagi, mengetahui sesuatu yang disembunyikan oleh gadis di depannya. “Kau baik-baik saja? Ada yang bisa kubantu?”

 

Tentu saja. Sangat bisa kau bantu.

 

“Begini, aku bukannya ingin membuang waktumu untuk bernostalgia atau apa. Tapi… sesuatu berubah sejak malam itu,” kata Helena memulai bicaranya.

 

“Sesuatu apa itu?”

 

Helena mengatur napasnya dengan sangat jelas. Kemudian berkata dalam sekali hembusan, “Aku hamil.”

 

 

Pelajaran #6: Kenali Teman Kencanmu!

 

Cho Kyuhyun terdiam. Terpaku. Apalah istilahnya. Gadis ini… apa?

 

“Miss Lively—maksudku Helena, kau yakin?” tanya Kyuhyun sangat sangat ragu dengan apa yang didengarnya. “Kau bicara serius?”

 

“Maafkan aku. Tapi aku serius. Aku datang bukan untuk nostalgia, seperti yang kukatakan tadi.”

 

Kyuhyun membuka sedikit mulutnya, lalu menutupnya kembali. Tatapannya menyapu apapun yang terlihat samar di ruangannya kali ini. “Tapi… tidak mungkin. Kau jelas tahu karena aku memakai—“

 

“Terkadang itu tak berfungsi. Aku pernah membacanya. Tak sepenuhnya berfungsi, maksudku.”

 

Kyuhyun diam sebentar sembari menatap lantai kayu ek-nya. Dari sekian wanita yang menjadi teman kencan satu malamnya, kenapa sampai ada yang hamil? Ini pasti salah. Karena ia selalu memakai…

 

“Kau yakin itu anakku?” tanya Kyuhyun memotong pikirannya sendiri.

 

Helena sedikit terbelalak mendengarnya, tapi toh ia sudah melatih ini sejak tiga bulan yang lalu: tidak ada pria yang akan langsung percaya jika dihadapkan kepada masalah seperti ini.

 

Mereka kan brengsek.

 

Jadi, ia juga akan melakukan apa yang sudah ia latih selama ini.

 

“Ya. Karena itu yang pertama bagiku.”

 

Bibir Kyuhyun terkatup rapat-rapat mendengarnya. Yang pertama? Demi dewa manapun, Cho Kyuhyun tidak pernah meniduri wanita yang belum berpengalaman. Tapi ini… Oke, baik. Dia bukan wanita. Helena Lively masih seorang gadis. Lugu dan muda. Whatsoever damn thing!

 

Beberapa menit berlalu dengan tangan masing-masing yang terkepal. Kyuhyun menahan emosi yang ingin membuncah, dan Helena menahan air matanya untuk keluar. Tidak saat ini, emosi berwujud apapun itu, bukan?

 

Akhirnya Kyuhyun beranjak dari kursinya dan mondar-mandir di samping jendela kaca besar yang mempertontonkan pemandangan kota London. Ada Big Ben di kiri jauh, dan London Eye di kanan lebih jauh lagi.

 

“Bisakah kau berhenti mondar-mandir? Itu membuatku pusing,” kata Helena memecah kesunyian.

 

Kyuhyun menatapnya sebentar, lalu kembali duduk di kursinya. “Dengar…” Kyuhyun menarik napas dalam, “Aku tak bisa menikahimu.”

 

Halilintar itu mungkin sudah dibayangkan Helena selama berkali-kali dalam latihannya di tiga bulan ini. Tapi ketika hal itu terjadi di depan matanya sendiri, halilintar itu toh masih begitu dahsyat dilihatnya.

 

“Aku tahu,” sahutnya berusaha tenang dan cuek. “Seperti yang kubilang, aku ke sini bukan untuk nostalgia atau meminta tanggung jawabmu. Bukan juga sedolar pun dari uangmu. Aku hanya datang untuk memberitahumu soal itu. Yah, awalnya aku hanya akan cuti kuliah dan kembali ke Blackpool saja. Kemudian melahirkan anakku dan merawatnya sebentar sebelum kembali ke London. Tapi kupikir-pikir, aku harus memberitahumu. Bukan apa-apa, tapi aku memikirkannya setiap malam dalam setiap hariku. Jadi aku di sini, memberitahumu. Itu saja.”

 

Helena berkata dengan cepat seperti dalam sekali helaan napas. Dan pernyataan yang terdengar mudah itu diakhiri dengan Helena mengangkat bahu kanannya dengan santai.

 

Ketika Kyuhyun hanya diam memandangnya, ia beringsut berdiri. “Aku pergi.”

 

“Tunggu.”

 

Helena membalikkan badannya dan mendapati dasi Kyuhyun sudah longgar, tak serapi sebelumnya.

 

“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuat ini terjadi. Maksudku, waktu itu kau pun tahu aku memakainya. Dan kukira, mungkin kau juga, itu akan selesai setelah hal itu memang selesai. Kau tahu, tidak ada tindak lanjut fakta seperti ini. Jadi aku benar-benar tidak siap mendengarnya. Kau hanya—“

 

“Salah satu wanita satu malammu? Tentu saja. Kau pernah bilang soal itu.”

 

“Helena—“

 

“Aku mengerti, Tuan Cho. Santai saja, aku toh tidak akan bilang pada dunia tentang ini. Aku hanya ingin kau tahu, itu saja. Maaf sudah membuat hidupmu tak kan sama lagi. Tapi percayalah, orangtuaku bahkan tidak kuberitahu tentangmu. Hanya aku dan Tuhan yang tahu. Yah, begitu deh.”

 

Helena langsung membalikkan badan menuju pintu setelah mengatakannya, membuat Kyuhyun bahkan tidak habis pikir kenapa otaknya begitu lamban memproses kata-kata gadis itu.

 

“Aku benar-benar… menyesal.”

 

Sesuatu menghantam dadanya layaknya godam. Helena berhenti lagi tepat di depan pintu kaca, dan berbalik lagi. Memaksakan satu senyuman. Ternyata lebih berat dari dugaanku.

 

“Tidak, jangan begitu. Kau sangat manis waktu itu. Maaf, tapi aku menikmatinya. Dan jika ini konsekuensinya, maka aku akan siap menanggungnya. Aku bisa kok tanpa dirimu. Jadi tidak apa-apa, jangan menyesal. Jaga dirimu ya.”

 

 

Pelajaran #7: Kenali Teman Kencanmu! (Bagian 2)

 

Sementara Helena sekuat tenaga menahan air mata dan sesak yang kemudian tumpah ruah dalam kamar mandinya, Kyuhyun justru melanjutkan agenda rapatnya hari itu. Meskipun tidak sefokus yang seharusnya, tapi toh Joongki begitu cerdas dalam menanganinya.

 

Dan ketika hampir tengah malam agendanya hari ini selesai, ia tidak langsung pulang. Justru ia mengurung diri di kantor pribadinya setelah memerintahkan Haesa dan Joongki untuk pulang.

 

Kyuhyun berdiri di depan jendela kacanya dengan lengan kemeja yang sudah digulung asal-asalan hingga siku. Dasinya bahkan lebih tak rapi dibanding kapanpun. Sebotol wiski siap di atas mejanya dan kini hanya bersisa seperempatnya. Ia bukan marah hingga ingin melempar gelasnya. Ia hanya marah karena ingatannya pada kalimat dan wajah itu.

 

“Apa-apaan datang ke sini dengan penampilan seperti itu lalu memberitahuku dia hamil dengan begitu mudahnya? Dan kenapa dia memberitahuku jika tidak ingin apapun dariku?”

 

Gelasnya remuk. Bukan karena dilempar, tapi karena cengkeraman tangannya yang terlalu kuat.

 

Pecahan kaca tersebar di lantai, darah mengucur dari telapak tangan kanannya. Persetan, ia akan ke rumah sakit setelahnya. Tapi nanti, besok, atau kapanpun yang ia mau.

 

Tak cukup sakit dengan pecahan kacanya, Kyuhyun mengepalkan tangannya dengan geram ketika kalimat terakhir Helena mampir di otaknya. Gadis itu bilang ia manis saat itu? Bahwa gadis itu menikmatinya?

 

Sejujurnya ia pun menikmatinya. Bukan karena usianya berbeda dari wanita manapun yang pernah dikencaninya, tapi karena gadis itu memang berbeda. Dia…

 

“Lebih hidup.”

 

Begitulah kesan yang didapat Kyuhyun ketika mereka masih sempat berbicara basa-basi. Gadis perantauan yang baru saja menginjak dewasa dan belajar mabuk. Dalam keadaan mabuk pun ia masih sempat bercerita tentang mimpi yang ia bawa dari Blackpool ke London. Tentang harapan orangtua yang ingin diwujudkannya. Tentang impian mengelilingi dunia sendirian yang telah dicanangkannya sejak umur 16 tahun.

 

Ya Tuhan, bahkan ia masih begitu polos dengan mimpi-mimpinya. Kyuhyun bahkan berani bertaruh bahwa Helena pasti kutu buku yang tak pernah berkencan sekalipun. Dan ketika gadis itu mencoba menjadi sedikit berulah dengan belajar minum, justru mendapat mimpi buruk dari hal itu.

 

Lalu sekarang, apa yang harus dilakukannya? Ia tak bisa menikahi gadis itu. Bahkan Helena tak pernah menyebutkan apapun atau berapapun darinya. Apa ia harus pergi begitu saja?

 

“Apa yang terjadi denganku? Bukankah itu bagus jika dia tidak menginginkan apapun dan tak akan memberitahu siapapun?”

 

Tapi Kyuhyun masih ingin bersabar. Mungkin saja itu trik licik dari Helena Lively demi keuntungan yang lebih besar. Baiklah, Kyuhyun akan menunggu hingga gadis itu menuliskan kata “mulai” pada papan permainan yang Tuhan ciptakan bagi mereka.

 

Akhirnya Cho Kyuhyun keluar dari kantornya pada sekitar 3 dini hari untuk menuju rumah sakit terdekat.

 

 

Di sisi lain, Helena menangis untuk terakhir kalinya. Setidaknya itulah janji bagi dirinya sendiri. Setelah ini ia akan mengantar surat cuti dan kembali ke Blackpool. Ayahnya mungkin masih sangat marah, tapi pria tua itu tetap ingin Helena pulang sambil berjanji untuk tidak akan marah lagi jika Helena sudah di rumah.

 

 

Pelajaran #8: Tentu Saja Lanjutkan Hidup!

 

Lima bulan setelah hari itu, Helena merasa sangat bahagia berada di rumah. Tidak ada kampus dan buku dan tugas kuliah apapun. Hanya makan dan udara segar yang ia jumpai di desa, rumahnya. Dan setelah janji itu, ia memang tidak menangis lagi. Ia mencintai bayinya hingga bersedia berlatih makan brokoli dan daging merah yang sebelumnya sangat menjijikkan baginya. Meskipun saat-saat awal ia akan selalu muntah, tapi toh ini sudah berbulan-bulan setelahnya.

 

“Selamat pagi, Sayang. Ini makanan kalian,” sapa Lidya pagi ini dengan senyum dan ciuman hangat bagi Helena. Tak lupa tangan jelmaan malaikat itu mengelus perut putrinya yang membuncit.

 

Helena duduk di kursi kayu buatan ayahnya di dapur dan mulai menyantap makanan super sehatnya, sebelum ibunya berseru dari ruang rias wanita itu, “Gaunmu sudah diperbaiki, Sayang. Dan kuharap akan muat untuk besok. Setelah pulang dari Kindergarten, aku akan mengambilnya untukmu.”

 

“Terimakasih, Mom. Tapi kurasa aku akan memakai gaunku yang lain saja jika memang masih tidak cukup. Maaf karena membuat kalian repot dengan pakaianku.”

 

Lidya keluar dari ruangannya dengan dandanan siap bekerja, kemudian mencium puncak kepala putrinya. “Jangan pernah bicara seperti itu, Sayang. Kami senang melakukannya. Kau tahu kan kalau Aiden dan Emily justru yang paling menantikan kelahiran anakmu setelah Dad?”

 

Helena menyengir membayangkan sepupu dan calon sepupunya yang akan menikah besok. “Yeah, mereka sangat antusias. Emily bahkan selalu menanyakan bayiku. Ya ampun, sepertinya bahkan ia tidak pernah menanyakanku.”

 

Lidya tertawa, kemudian pergi untuk mengajar. Sedangkan Helena menyeruput susu ibu hamilnya sembari membayangkan besok Aiden dan Emily akan menjadi sepasang suami-istri yang sangat bahagia. Tapi lucu adalah ketika bukan calon pengantin yang ribut. Tapi Helena. Gaun yang sudah jadi sebelum dirinya hamil harus dipermak habis-habisan demi menyesuaikan ukurannya sekarang. Sudah tiga kali gaun itu diperbaiki karena ukuran tubuhnya yang selalu bertambah. Hingga ia merasa tidak enak kepada keluarga besarnya. Tapi ia sungguh-sungguh bersyukur ketika ia tahu tidak ada bahkan satupun anggota keluarganya yang mencelanya. Semua mendukungnya dan sama-sama berdoa bagi bayinya. Benar-benar mengharukan. Dan kebahagiaan keluarganya akan bertambah dengan upacara pernikahan Aiden dan Emily besok, bukan?

 

Pernikahan.

 

Hhh… Helena ingin mendesah berat, tapi untuk apa? Bukan pernikahan yang diinginkannya kan? Bayinya sudah membuatnya bahagia.

 

“Bukan begitu, Gadis Kecil?” ujarnya menghibur diri sambil mengelus perutnya. Terakhir kali ke dokter, ia diberitahu bahwa bayinya adalah perempuan. Jadi sekarang ia semakin sering memanggil bayinya dengan “gadis kecil” karena belum juga menemukan nama yang tepat untuk calon anaknya.

 

Mendadak sekali pikirannya melayang pada Cho Kyuhyun. Dan ia berpikir: kenapa? Kenapa ia harus memikirkan pria itu? Apa karena dia ayah putrinya? Mungkin seperti itu, mengingat ia yakin bahwa ia tidak mempunyai perasaan apapun terhadap Kyuhyun. Dia bukan tipe pria yang mampu merebut hati dan pikirannya, begitu pikiran Helena.

 

Hanya karena dia ayahmu, bukan berarti aku membutuhkannya, kan?

 

 

Di sudut lain di kota London, Kyuhyun baru saja menyelesaikan rapat via video conference dengan petingginya di Seoul. Dan karena perbedaan waktu yang cukup signifikan dan kesibukan bosnya yang lebih padat, alhasil ia menghabiskan pagi-pagi butanya demi rapat itu.

 

Ia menguap lebar tanda lelah, bukan mengantuk. Selama lima bulan terakhir ia seperti kehilangan ritme istirahat. Seringkali ia baru bisa tidur ketika matahari hendak menyingsing dan bangun dua jam kemudian untuk pergi ke kantor. Tak jarang ia menginap di kantornya karena ia akan mempunyai pekerjaan apapun di sini dibandingkan di rumah. Karena jika ia berada di rumah, ia hanya akan memikirkan Helena Lively.

 

Bukan suatu pemikiran seseorang yang memendam cinta bertahun kepada seorang gadis, melainkan pemikiran bagaimana kabar gadis itu dan anaknya. Ya, lambat laun Kyuhyun semakin bisa memaknai hal-hal yang terjadi menyangkut gadis itu. Meski tak pernah ada bukti apapun jika Helena hamil, tapi entah kenapa Kyuhyun percaya. Bahkan kini ia bisa, setidaknya dalam hati dan otaknya, mengakui secara terang-terangan bahwa sebentar lagi ia akan menjadi ayah. Ayah yang tidak tahu keberadaan anaknya.

 

Kyuhyun tersenyum kecut. Helena benar. Hidupnya tak kan sama lagi. Jika gadis itu memikirkan setiap malam dalam setiap hari selama tiga bulan untuk mengatakan bahwa gadis itu mengandung anaknya, ia merasakannya juga. Mengakui ia sebentar lagi akan menjadi ayah adalah hal yang sangat berat, namun lebih berat lagi ketika ia sadar ia menyesal telah merelakan Helena pergi begitu saja tanpa ada usaha untuk mencegah gadis itu.

 

Atau usaha untuk bertanggungjawab.

 

Naif adalah saat ia berpikir bahwa Helena akan melakukan hal-hal licik demi keuntungan yang lebih besar. Namun nyatanya gadis itu memenuhi janjinya dengan tidak meminta apapun darinya. Tidak ada kabar sama sekali. Bahkan ketika ia berusaha mencari alamat rumah Helena di Blackpool, hasilnya nihil.

 

Helena menghilang. Bersama anak­nya.

 

“Bahkan sekarang aku lebih memilih kau menceritakan pada dunia tentang kita, bukannya menghilang seperti ini.”

 

 

Pelajaran #9: Belajar Itu Proses yang Sulit

 

Malam menjelang, dan ini malam terakhir Aiden dan Emily menjadi sepasang kekasih karena besok pagi semua tak kan sama lagi. Tidak ada kunjungan ke rumah masing-masing. Yang ada adalah bersama dalam satu bangunan, di mana Emily akan memasak sarapan untuk Aiden setiap pagi. Dan akan sampai pada suatu saat di mana mereka berdua akan bermain dan tertawa bersama anak mereka.

 

Yah, gambaran sempurna yang mungkin tak kan pernah dialami dirinya, pikir Helena.

 

Dan dibanding merutuki kembali nasibnya, lebih baik ia mempersiapkan dirinya sebagai pengiring pengantin untuk besok. Ibunya sudah mengambilkan gaunnya dan ia bersyukur itu muat. Mungkin akan sedikit sesak, tapi toh tidak akan menyiksanya.

 

Jadi, sekarang ia berdiri di depan cermin panjang di dalam kamarnya dengan gaun itu. Cantik, pikirnya. Tapi sedetik ia merasa menyesal. Seharusnya gaun itu tidak pernah dipermak, tetap seperti sedia kala tanpa perutnya yang membesar. Berani taruhan, ia akan lebih cantik dibanding sekarang.

 

Tapi tidak boleh. Mom selalu melarangnya untuk menyesal. Dan Dad akan sangat bersedia memukulnya jika pria itu tahu anaknya sedang menyesal.

 

Karena aku masih sangat muda. Bukan begitu, Tuan Cho?

 

Helena menggeleng keras. “Tidak bisa, tidak boleh mengingat atau menyesal. Sekarang, apa yang akan kau lakukan dengan rambutmu, Helena?” tanyanya pada diri sendiri.

 

Kemudian ia ingat jika ibunya sering membeli buku-buku dan majalah tentang kehamilan dan ibu muda. Jadi Helena mengambil satu majalah dan membukanya pada halaman dengan figur ibu-ibu muda. Ia ingin meniru gaya rambut yang dimiliki wanita-wanita dalam majalah itu, mulai dari digelung, dikepang, dan apalah istilahnya.

 

“Demi Tuhan, kenapa ini sangat sulit?” keluhnya saat rambutnya terlihat tak bersahabat dengan semua gaya rambut itu. Kini ia menyesal kenapa ia menjadi begitu tomboy dalam waktu yang begitu lama. Seharusnya ia sudah belajar berdandan saat memasuki usia 16 tahun, seperti temannya yang lain.

 

Erangan dan keluhan kemudian keluar bertubi-tubi dari mulutnya. Ia berpikir, besok pasti semua keluarganya akan sibuk dengan dandanan masing-masing. Setidaknya ketika mereka sudah selesai dengan dandanannya, fokus pasti beralih kepada Emily. Tentu saja, dia yang pengantinnya. Bukan aku.

 

Yah, oke. Baiklah. Ia menyerah. Dalam hati ia yakin bahwa besok pasti ada keajaiban tentang gaya rambutnya. Semoga.

 

“Sekarang, mari kita tidur, Gadis Kecil.”

 

 

Di London, jam masih menunjukkan angka 10. Tetapi Joongki mengatakan bahwa pekerjaannya untuk hari ini telah selesai. Tidak ada janji temu apapun dan tidak ada kertas-kertas atau laporan-laporan yang harus diperiksanya lagi.

 

“Semua bisa dilanjutkan besok, Kyuhyun-ah,” kata Joongki yang juga teman Kyuhyun di Kyunghee itu.

 

“Baiklah. Kau boleh pulang sekarang, Joongki-ya.”

 

Joongki mengangguk dan berjalan menuju pintu di kantor pribadi Kyuhyun. Tapi ia berputar lagi setelah sesuatu melintas di otaknya. “Oh, Kyuhyun-ah. Masih ingat Emily?”

 

Kening Kyuhyun berkerut samar. “Emily Fitzgerald?”

 

“Yeap,” jawab Joongki membenarkan ingatan Kyuhyun. “Dia menikah besok.”

 

Kyuhyun terdiam satu detik. “Oh, yeah, aku ingat. Minggu lalu dia meneleponku dengan sangat bersemangat mengabarkan berita itu. Menyuruhku datang.”

 

Joongki tersenyum kecil. “Ya, dia juga menghubungiku.”

 

Kyuhyun kini menatap Joongki, mendadak menyadari pengaruh sebuah masa lalu. “Kau baik-baik saja?”

 

Joongki tersenyum lagi, tetapi lebih seperti dipaksakan. “Tentu. Kenapa harus tidak baik-baik saja? Aku hanya masa lalunya. Kau tahu itu.”

 

“Ara. Jadi… kau datang?”

 

Joongki mengangkat bahu, berusaha santai. “Kurasa tidak. Lagipula aku harus mengurus banyak hal di sini besok. Kau yang akan ke sana.”

 

“Aku bisa saja tidak datang. Tidak terlalu penting untuk saat ini. Maaf.”

 

Tapi Joongki justru tergelak. “Hei, ada apa denganmu? Cukup aku yang menjadi pecundang di sini. Lagipula kau temannya sebelum dia bertemu denganku. Gwenchana. Neo ga,” ucap Joongki dengan senyumnya sebelum keluar kantor untuk pulang.

 

Kyuhyun mengamati pintu yang terayun menutup. Sebegitu berpengaruhkah masa lalu bagi sebagian orang? Joongki memang tidak sampai membuat Emily hamil—dan sebenarnya hanya mereka dan Tuhan yang tahu juga apakah mereka dulu sampai pada titik itu atau tidak. Pokoknya, pada intinya Emily tidak hamil. Itu saja sudah bisa membuat Joongki murung. Lalu bagaimana jika Emily sampai hamil tapi justru meminta pria lain untuk menjadi ayah anaknya?

 

O-oh…

 

Mendadak sesuatu seperti melilit perutnya. What’s this damn thing? Oke, sekali lagi Kyuhyun ingin membersihkan pikirannya bahwa ia tidak pernah menaruh perasaan apapun pada gadis itu. Tidak sekalipun, selama bertemu-berpisah-bertemu lagi-berpisah lagi. Tidak pernah.

 

Jadi kenapa perutku perih?

 

Dan sebotol brendi diharapkan mampu meredakan rasa di perutnya.

 

 

Kyuhyun pulang ke rumahnya sebelum tengah malam, melempar jas dan dasinya ke sofa di depan televisi, dan menenggak banyak-banyak air mineral dari dalam lemari es. Tapi tenggorokannya tetap kering. Dan sedikit banyak itu akibat dari pesan di post-it Joongki sesaat sebelum ia beranjak pulang, yang entah kapan pria itu letakkan di atas mejanya.

 

Blackpool itu indah. Bisa sekalian membersihkan pikiran. Kau tampak terlalu lelah.

Tenang saja, aku bukan homo hanya karena menulis ini semua kkk~

Jal ji nae.

 

Blackpool. Kota itu terdengar sangat familiar ketika ia membacanya. Hanya sebentar sebelum ingatannya kembali kepada Helena. Yeah, oke. Bagus. Jangan katakan dia juga akan ada di sana.

 

Di pernikahan itu? Demi Tuhan, apa hubungan Emily dengannya jika sampai gadis itu ada di sana?

 

“Well, sepertinya aku mulai gila. Joongki benar. Kau harus bepergian, Cho Kyuhyun,” katanya pada diri sendiri sebelum mandi dan tidur.

 

Namun, jauh di dalam hatinya, ia ingin gadis itu ada di sana besok. Apapun alasannya dan bagaimanapun hubungan gadis itu dengan Emily.

 

Cho Kyuhyun hanya tidak ingin mengakuinya sekarang.

 

 

Pelajaran #10: Pernikahan Itu (Memang) Ada di Blackpool! (Bagian 1)

 

Suasana pedesaan selalu kentara ketika pagi. Suara ayam, kuda, atau domba seperti bersahutan dalam percakapan yang Tuhan ciptakan bagi mereka. Sebuah bahasa yang asing bagi manusia dan mustahil untuk dipelajari sekalipun.

 

Tetapi itu tidak berlaku di rumah Aiden Lively. Rumah sepupu Helena itu sudah riuh jauh sebelum ayam mulai berkokok pagi ini. Selayaknya pernikahan ala pedesaan, semua ribut dengan hal-hal yang ada. Bahkan hal-hal kecil akan menjadi besar ketika hari pernikahanmu tiba. Tentu saja dengan teriakan yang saling menyahut tentang ini dan itu.

 

Tapi Aiden tertawa di dalam kamarnya. Tergelak panjang karena keributan di dalam kamar ganti pengantin wanitanya. Ini rumahnya, tapi orang-orang justru sibuk dengan kebutuhan orang lain. Tapi bukankah orang lain itu akan menjadi istrinya?

 

Dan Emily, di dalam kamar di samping kamar Aiden, berada dalam pusaran orang-orang. Ia sedikit pusing dengan teriakan dan tarikan pada gaunnya. Yah, ia sadar, siapapun tahu bagaimana adat di pedesaan. Kau belum menikah jika gaunmu tidak menyapu lantai dengan rok mengembang dan tubuh terlilit tali. Bisa dibilang, di pedesaan, pengantin adalah ratu Inggris sehari.

 

Sementara Aiden dan Emily sedikit banyak menikmati keributan itu, Helena masih terdiam di depan cermin di kamarnya. Ia tidak—belum—ikut dalam keributan itu. Segera, setelah masalah rambutnya terselesaikan, janjinya.

 

Nyatanya doanya kemarin malam tidak terkabul. Ia masih bingung bagaimana untuk memperlakukan rambutnya. Digerai saja? Tapi itu pasti akan merepotkan. Demi Tuhan, dia ini sedang hamil. Tidak lucu jika rambutnya digerai. Mau bagaimanapun juga, perutnya tidak bisa berbohong. Ia bukan remaja biasa yang memakai gaun press body dengan rambut tergerai indah.

 

“Helena, kau sudah siap? Kenapa lama sekali?” tanya Jordan dibalik pintu kamar anaknya.

 

“Semenit lagi, Dad,” seru Helena dari dalam.

 

Jordan mengedikkan bahu santai, kemudian menuruni tangga untuk mengendarai skuter tuanya menuju rumah Aiden.

 

Helena mendengar langkah kaki ayahnya yang menuruni tangga. Baiklah, ayahnya sudah dalam perjalanan menuju keterlibatannya dalam keriuhan pernikahan. Ibunya bahkan sudah sedari subuh tadi, membantu riasan Emily.

 

Ya Tuhan, ibunya bahkan merias gadis lain? Oke, baik. Ini bukan saatnya menyalahkan siapapun.

 

“Berpikirlah, Helena. Apa yang bisa terjadi dengan perut buncit dan rambut panjang?” gerutu Helena sambil memandang pantulan dirinya di cermin.

 

Kemudian sesuatu tertangkap matanya. Ia berbalik, mendapati sebuah hairpit besar dan panjang di atas nakas. Ia ingat, itu pemberian neneknya ketika ulang tahun ke-20-nya. Nyaris setahun yang lalu. Hairpit itu berwarna coklat pastel, dengan hiasan beberapa manik berlian imitasi. Bukan berlian asli memang, tapi cukup berkilau indah di bawah cahaya matahari.

 

Tapi ia bingung: harus dipakai bagaimana benda ini?

 

Baiklah, sesuatu muncul di otaknya. Kaitkan saja beberapa helai dari samping kanan dan kiri, dan satukan dengan benda itu tepat di tengah rambutmu. Hair-do just been done!

 

 

Di ibukota, tidur selama lima jam menjadi harta karun biologis yang terlampau langka bagi Cho Kyuhyun akhir-akhir ini. Tapi dia segar sekarang, sudah berada dalam mobil beratap terbukanya, menembus kabut pagi London menuju Blackpool. Hatinya sedikit ringan mengingat ia tak kan menginjakkan kaki di kantor hari ini.

 

Beberapa jam berlalu dengan lalu lintas yang belum padat. Dan ketika mobilnya memasuki kawasan pedesaan, ia melambatkan lajunya untuk menikmati udara segar yang tersedia. Demi Tuhan, ia berani mempertaruhkan setengah uangnya jika ada yang bisa menebak dengan tepat kapan terakhir kali ia menghirup udara sebersih ini. Apakah London punya hal seperti ini? Mungkin tidak. Apakah Seoul, ketika ia masih berstatus mahasiswa? Ataukah Busan, kampung halaman ibunya?

 

Yang jelas, itu seperti seabad yang lalu.

 

Dan Kyuhyun tersenyum—bahkan nyaris tertawa—ketika ia harus mengerem mendadak mobilnya akibat domba-domba yang sedikit bertingkah di depan si empunya.

 

“Maafkan aku, Tuan. Dombaku memang sedikit sulit diatur,” kata penggembala itu dengan, kata Kyuhyun, sopannya. Sebutkan orang yang mana saja di London yang bisa berbicara sesopan itu padanya sedangkan ia nyaris menabrak gembalaannya. Berani taruhan deh, nol besar.

 

Dan karena suasana hatinya sedang baik, Kyuhyun turun dari mobil. Ia bersandar di pintu kemudinya sambil memperhatikan penggembala itu berlalu dengan domba-dombanya menuju sebuah padang rumput luas. Baiklah, itu juga tidak ada di London.

 

Ia masih menertawai dirinya yang terlihat begitu takjub dengan suasana ini ketika seseorang berskuter tua berhenti di sampingnya. “Kau tersesat, Anak Muda?” tanya pria itu.

 

Kyuhyun terkesiap sedikit sebelum menggeleng. “Aku tidak tersesat. Tapi kurasa aku butuh bantuanmu untuk menemukan alamat ini,” katanya sambil mengangsurkan sebuah kertas bertuliskan alamat tempat pernikahan Emily.

 

“Kau teman Aiden atau Emily?” kata pria itu balik bertanya.

 

“Emily. Aku dari London. Namaku Cho Kyuhyun. Yeah, asalku dari Korea sih. Tapi aku tinggal di London.”

 

Pria tua itu mengangguk dan menyambut uluran tangan Kyuhyun. “Jordan. Lively.”

 

Mata Kyuhyun berkedip dengan cepat, satu kali. “Lively?”

 

“Ya. Familiar? Yeah, tentu saja. Itu juga nama belakang Aiden. Aku pamannya,” jawab Jordan ringan dengan tawa dari suara berat itu.

 

Kyuhyun tersenyum canggung, mendadak merasakan ketakutan pribadi ketika sekilas ia membayangkan bahwa pria tua ini adalah ayah Helena yang kemudian mengetahui bahwa dirinya yang menghamili gadis itu. Tamat sudah riwayatku di sini, batinnya.

 

“Kau tinggal lurus saja, kemudian belok ke kiri. Rumahnya ada di ujung jalan. Riuh dan ramai,” lanjut Jordan, tertawa lagi. “Atau kau mau mengikutiku? Tapi skuterku akan sangat lamban,” tambah Jordan.

 

Kyuhyun masih berusaha menghilangkan kemungkinan yang dianalisis oleh otaknya, tapi toh ia mengangguk sopan. “Tentu saja. Tidak apa-apa. Aku suka di sini, jadi akan oke jika lamban sekalipun.”

 

Jordan tertawa lagi, menepukkan tangannya di pundak kanan Kyuhyun. “Kau anak muda yang sopan. Aku menyukaimu, Nak. Masuklah ke mobilmu.”

 

 

Pelajaran #11: Pernikahan Itu (Memang) Ada di Blackpool! (Bagian 2)

 

Perjalanan menuju tempat pernikahan Emily memang berjalan lamban. Tapi otaknya sedang bekerja cepat sekarang. Aiden Lively? Sejak kapan ia tidak tahu nama calon suami Emily? Apakah Emily tidak pernah memberitahukan nama belakang Aiden atau ia yang tidak pernah mendengarkan dengan baik?

 

Yang pasti sekarang ia sudah memarkir mobilnya di dekat kandang kuda di seberang rumah Aiden. Ya, ini pasti rumah Aiden karena Kyuhyun sangat tahu Emily itu berasal dari Essex. Ia turun dengan perasaan yang belum bisa ia tafsirkan, bahkan saat mengikuti langkah Jordan memasuki pekarangan rumah Aiden.

 

“Jo, dari mana saja kau? Kukira kau di sini. Helley menunggumu menjemputnya,” serbu Lidya segera setelah melihat suaminya muncul.

 

“Aku pergi membeli sesuatu untuk Aid. Aku akan menjemputnya sekarang. Oh, ini anak muda dari London, Lid. Aku bertemu dengannya di depan sana,” kata Jordan sambil memperkenalkan Kyuhyun.

 

“Hai, aku Cho Kyuhyun. Teman Emily dari London,” ujar Kyuhyun memperkenalkan dirinya dengan sopan, sesopan pria Korea pada umumnya.

 

“Oh, hai. Ya ampun, kau tampan tapi namamu sulit sekali diingat. Duduklah bersama tamu lain, Tuan Cho. Aku Lidya. Lidya Brooks Lively. Istri Jordan,” sahut Lidya ramah.

 

Another Lively. Very well.

 

Kyuhyun hanya tersenyum sopan ketika nama itu mengusik pikirannya. Kenapa banyak sekali yang bernama Lively? Aiden, Jordan, Lidya. Apa semua orang itu berhubungan dengan gadis itu?

 

Dan Kyuhyun merinding membayangkannya.

 

 

Hampir pukul 10 pagi tamu-tamu sudah menempati kursi mereka masing-masing. Begitu juga Kyuhyun yang sudah duduk setelah menemui Lidya, lalu memeriksa saham Samsung di pasaran Inggris Raya dan membaca laporan singkat Joongki dan Haesa di surelnya.

 

Tepat pukul sepuluh, semua orang yang hadir di sana berdiri untuk menyambut pengantin wanita. Kyuhyun memasukkan kembali ponsel ke saku jasnya, dan ikut berdiri, memandang ke tempat Emily akan keluar dengan gaun dan senyumnya.

 

Itu dia Emily Fitzgerald. Masuk dengan gaun ala ratu Elizabeth-nya. Juga dengan senyuman merekah yang sangat cantik. Dan Kyuhyun ingat, Emily tak pernah secantik hari ini. Joongki benar ketika ia memutuskan tak kan datang.

 

Dan Emily melihatnya, tersenyum canggung karena malu sembari melambai kecil. Kyuhyun tersenyum lebar disertai alis kanan yang sedikit terangkat, sesuatu yang khas dari dirinya. Ia merasa harus ikut bahagia.

 

Emily berjalan melewati dirinya didampingi Dennis Fitzgerald, dan Kyuhyun berniat memandangi Emily hingga ke depan altar ketika ekor matanya menangkap sesuatu yang lain.

 

Gadis itu. Dengan gaun pink pastel dan rambut setengah diikat setengah digerai. Dan perutnya yang membesar. Dia berjalan di belakang Emily bersama seorang gadis lain yang Kyuhyun ingat sebagai Evy Fitzgerald, adik Emily.

 

Helena. Lively.

 

 

Setelah sekian lama, setelah ia sampai pada titik di mana ia ingin bertemu dengan Helena, kenapa sekarang ia menjadi gugup dan takut? Keringat dingin mulai berkumpul di keningnya, jantungnya serasa berdetak jauh lebih cepat.

 

Helena tidak melihatnya, tapi ia melihat senyum itu. Wajah itu. Dan tubuh yang berubah. Terakhir kali mereka bertemu adalah lima bulan yang lalu ketika gadis itu bilang ia hamil karena ulah mereka berdua. Gadis itu, saat di kantornya di London, memakai pakaian kasual layaknya gadis 20 tahun dengan tubuh yang masih langsing meskipun saat itu ia sudah hamil tiga bulan. Tapi kali ini sangat berbeda.

 

Dan Kyuhyun seakan tak lagi fokus kepada janji yang diucapkan Aiden dan Emily. Entah kenapa ia berharap ia bisa pergi jauh dari sini sekarang juga. Mungkin menemani Song Joongki menjadi pecundang? Ha-ha.

 

 

Pelajaran #12: Pernikahan Itu (Memang) Ada di Blackpool! (Bagian 3)

 

Upacara pernikahan telah selesai dan sekarang waktunya berpesta. Yeah, pesta saja sana.

 

Kyuhyun mengambil segelas sampanye dari pramusaji yang melintas di depannya, dan berdiri di pinggir danau buatan di pekarangan rumah Aiden. Ia mengamati semua yang ada di sana, dalam hati berusaha sekuat mungkin menampik bahwa ia sedang mencari sosok Helena Lively.

 

“Michida,” bisiknya mengatai diri sendiri ketika jantungnya berdegup dahsyat saat pandangannya menemukan gadis itu.

 

Dan sesuatu seperti menghantam perutnya manakala pandangan mereka bertemu di kejauhan.

 

Kyuhyun tahu ia harus segera pergi dari situ.

 

 

“Cho Kyuhyun!”

 

Kyuhyun menghentikan langkahnya yang ingin kabur dari tempat itu ketika suara yang familiar memanggilnya. Ia mengatur napasnya yang lelah sebentar, sebelum memasang senyum dan berbalik menghadapi orang yang memanggilnya.

 

“Emily Fitzgerald,” sapanya kepada Emily sebelum terkejut dan mundur selangkah karena Emily langsung melemparkan dirinya ke dalam pelukan Kyuhyun. “Hati-hati dengan gaunmu, Nyonya Aiden.”

 

Emily tertawa, kemudian melepaskan pelukannya. “Lively, Cho,” katanya mengoreksi.

 

“Yeah, Lively. Terserah saja.”

 

Kemudian mereka tertawa sebelum Emily menyadari sesuatu. “Di mana Song Joongki?”

 

Ah, this is it. “Dia asistenku. Jika kami sama-sama di sini, siapa yang akan menangani pekerjaanku?” jawab Kyuhyun santai yang berbuah tinju di lengannya.

 

“Ya Tuhan, kau ini. Kenapa tidak bisa saja sehari membebaskannya? Kau keterlaluan, Cho Kyuhyun.”

 

And… Emily seems so mean right now.

 

“Dia tidak ingin datang. Kau tahu alasannya,” jawab Kyuhyun jujur, dan suasana mendadak canggung.

 

Emily menunduk sebentar, kemudian tersenyum layaknya berkata: yah, begitulah. Dan Kyuhyun mengangguk tanda ia cukup paham dengan situasi ini.

 

“Aku mencintai Aiden. Dan dia tahu itu.”

 

“Itu urusan kalian. Aku di sini mendatangi pernikahanmu, bukan menjadi burung hantu Song Joongki.”

 

Emily tertawa lagi. “Ya Tuhan, kau sama sekali tidak berubah, Tuan Cho. Setajam biasanya.”

 

“Aku tak kan mengubah apa yang tak ingin kuubah.”

 

“Yeah, oke. Terserah saja. Ayo kukenalkan pada Aiden.”

 

Kyuhyun ingin menolak, tapi tangan Emily sudah meraih lengannya dan memaksanya memasuki pekarangan lagi, tempat berbagai macam makanan tersaji di atas banyak sekali meja.

 

 

Di lain tempat, Helena merasa sudah lebih baik dengan duduk. Entah kenapa ia merasa jauh lebih mudah lelah akhir-akhir ini. Semua orang bilang ini karena bayinya yang mulai besar dan sebentar lagi akan lahir. Helena tidak mengerti tentang itu, jadi dia menurut saja ketika orang bilang begitu.

 

Tapi dalam hati ia jadi bertanya-tanya: apakah ketika kau hamil dan merasa lelah, kau akan melihat seseorang di kejauhan? Apa kau akan berhalusinasi? Karena Helena yakin halusinasinya memunculkan sosok Cho Kyuhyun yang tengah berdiri di tepi danau milik Aiden.

 

“Helley? Mau kuambilkan sesuatu? Minum?” tawar Aiden kepada sepupunya saat pria itu menghampiri Helena.

 

Helena tersadar dari lamunannya dan mengangguk saja tanpa benar-benar mendengar Aiden.

 

“Tunggu ya,” kata Aiden sembari tersenyum dan menghampiri pramusaji terdekat, bermaksud mengambil segelas sampanye untuknya dan segelas koktail untuk Helena. Namun Emily memanggilnya sebelum ia sempat mengambil satu gelas pun.

 

“Aiden, Honey, aku ingin kau bertemu Kyuhyun. Dia temanku dari London,” kata Emily riang.

 

Tapi Kyuhyun tak seriang itu meskipun tangannya tetap terulur. “Cho Kyuhyun.”

 

“Ah, pria Korea itu?” balas Aiden sembari menyambut uluran tangan Kyuhyun.

 

Kening Kyuhyun berkerut samar, tidak mengerti dengan istilah Aiden. Tapi… Whatever! “Yeah, aku pria Korea itu.”

 

Sesi berikutnya adalah nostalgia kecil tentang bagaimana Kyuhyun dan Emily bertemu atau berkenalan atau apapun itu istilah yang ingin didengar Aiden tentang mereka berdua. Sejujurnya Kyuhyun tidak terlalu mengerti arah pembicaraan Emily. Ia hanya bisa mengangguk dan tersenyum, mengoreksi sedikit cerita yang kebetulan tersangkut di otaknya. Tapi tetap saja ia tidak fokus.

 

“Oh, aku bermaksud minum dengan Helley di sebelah sana,” kata Aiden kemudian sembari menunjuk ke belakang Kyuhyun.

 

“Benarkah? Ayo kita minum bersama kalau begitu. Dan kurasa Helley akan senang bertemu dengan Kyuhyun,” sahut Emily seriang sebelumnya tanpa pernah tahu yang akan terjadi.

 

“Yeah, ayo kenalkan mereka.” Aiden pun tak kan tahu apa yang akan terjadi.

 

Helley? Jangan bilang dia…

 

Kyuhyun tak sempat meneruskan asumsinya ketika lengan Emily sudah menggamit lengannya dan menuju ke sebuah meja bundar dengan lima kursi yang salah satu kursinya telah terisi oleh gadis bergaun pink pastel.

 

Kyuhyun seketika berhenti, lengannya terlepas dari lengan Emily. Mereka bertatapan dalam jarak dekat sekarang. Dan Kyuhyun menyesal kenapa ia pernah berpikir untuk bertemu dengan Helena.

 

 

Pelajaran #13: Hai, Kita Bertemu Lagi!

 

Jika Kyuhyun seketika berhenti melangkah, maka Helena seketika berdiri. Well, kurasa ini sudah berlebihan jika masih termasuk kategori halusinasi.

 

“Helley, kenalkan. Ini temanku dari London. Namanya Cho Kyuhyun. Dari Korea sih, tapi dia tinggal di London. Dan Kyuhyun, ini Helena Lively. Kami biasa memanggilnya Helley. Sepupu Aiden.”

 

Emily mengatakannya dengan nada ringan dan santai dan terdengar sangat ingin agar Helena mengenal Kyuhyun. Baiklah, dia sedang terlalu bergembira sekarang. Jadi jangan salahkan Emily kalau dia tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi di antara dua orang yang sedang diperkenalkannya.

 

“Hai,” ucap Helena lebih dulu. Setelahnya, Kyuhyun juga mengucapkan kata yang sama. Dan awan canggung menaungi mereka yang ada di situ.

 

Aiden hendak angkat bicara saat Jordan memanggil mereka dan menyuruhnya serta Emily berfoto bersama.

 

“Oh, kau lagi. Jadi kau sudah bertemu putriku, huh? Apa kalian sudah saling kenal?”

 

Kyuhyun memandang Helena yang tidak balas memandangnya. “Ya, kami baru saja diperkenalkan.”

 

Well, itu tidak sepenuhnya bohong sih. Mereka memang baru saja diperkenalkan oleh Emily, kan?

 

Tapi Jordan tertawa. “Helley, ini orang London yang kutemui tadi pagi. Kubilang aku akan mengenalkanmu padanya tapi ternyata kalian sudah kenal. Baiklah, kau di sini saja dulu ya. Jangan terlalu lelah.” Kemudian tatapannya beralih kepada Kyuhyun dan berkata, “Bisakah kau temani Helley sebentar, Nak?”

 

Tidak ada pilihan lain selain menyanggupi, yang sebenarnya belum sempat dijawab tapi Jordan sudah meninggalkan mereka berdua dengan suara tawanya yang berat. Tampak sebahagia yang lainnya.

 

 

“Hai, kita bertemu lagi,” kata Kyuhyun akhirnya setelah masing-masing hanya diam dan minum minuman dari pramusaji yang kebetulan lewat di depan mereka.

 

Helena mengangguk gugup, kemudian tertawa kecil. “Jangan formal begitu. Santai saja. Maaf, tadi aku sangat terkejut kau di sini. Tapi kau teman Emily, jadi… yeah, aku mengerti kenapa kau bisa di sini.”

 

Sesuatu bergelenyar dalam dada Kyuhyun, entah kenapa itu membuatnya sedikit rileks. Tapi toh dia sudah bisa tersenyum sekarang. “Bagaimana kabarmu?”

 

“Baik. Kau?”

 

“Seperti katamu, semua tak kan sama lagi.”

 

Perasaan antara terusik dan merasa bersalah menghampiri Helena. “Maaf,” katanya lirih.

 

Tapi kali ini giliran Kyuhyun yang tertawa. “Ada apa denganmu? Santai saja,” ujarnya tanpa sadar mengedipkan mata kirinya. Kedipan menggoda. Ya ampun, bahkan di saat seperti ini? Seriously?

 

Helena terpaku sesaat melihat kedipan yang dulu membuatnya makin mabuk itu, lalu menertawakan dirinya sendiri dan kecanggungan yang menyeruak di antara mereka berdua. Dan akhirnya mereka sama-sama tertawa konyol.

 

“Aku serius. Helena, bagaimana kabarmu?” tanya Kyuhyun setelah mereka berhenti tertawa.

 

“Aku juga serius. Aku baik-baik saja, Kyuhyun. Terimakasih.”

 

“Dan bayinya?”

 

“Oh, dia juga baik-baik saja. Kami semua oke kok,” jawab Helena, tanpa sadar menggunakan kata she.

 

“Dia?”

 

“Oh, dia perempuan. Terakhir ku cek sih.”

 

Kyuhyun mengangguk mengerti, kemudian hening sekian detik.

 

“Apa dia berat?”

 

“Tidak juga. Tapi aku masih sering terkejut ketika bangun tidur dan mendapati perutku sebesar ini. Benar-benar konyol.”

 

“Tidak kok. Itu manis.”

 

Helena berdeham satu kali, dan itu cukup bagi Kyuhyun untuk menyadari bahwa ia salah bicara. “Jadi, kapan dia lahir?”

 

“Bulan depan.”

 

Kyuhyun mengangguk, tidak tahu apa lagi yang harus ditanyakan atau dinyatakan. “Semoga lancar,” katanya, akhirnya.

 

“Yeah, terimakasih,” balas Helena santai, meskipun dalam hati—jauh di dalam hati—ia mengharapkan kata-kata lain yang keluar dari mulut Kyuhyun.

 

Dan untuk pertama kalinya Kyuhyun bertanya: bagaimana bisa ia mati kutu seperti sekarang? Harus bagaimana lagi ia bersikap dan berbicara? Ke mana kepercayaan diri dan pesonanya?

 

Hey, buddy, she’s just a girl. Please, don’t say you feel something.

 

“Helena?”

 

“Hm?”

 

“Bulan depan… boleh aku melihatnya?”

 

Hell, yeah. But not that sure.

 

 

Pelajaran #14: Nostalgia

 

Helena berniat bergabung saja dengan orangtuanya dibandingkan berdiri di sini dengan kecanggungan luar biasa yang tak segera pudar. Tapi pertanyaan Kyuhyun mengenyahkan niatannya.

 

Helena menatap wajah itu lebih lama, mencari celah candaan dari dua mata gelap yang pernah juga menggelapkan dunianya. Jantungnya memang berdetak lebih kencang sekarang, tapi Helena memaksa dirinya sendiri untuk tetap melihat ke dalam mata Kyuhyun. Bukan apa-apa, tapi dia tak ingin salah langkah lagi setelah ini. Setelah ia berani menjadi ibu tanpa suami, setelah ia berani menahan malu sepanjang hidupnya, dan setelah ia mampu mengendalikan diri di hadapan Kyuhyun.

 

Tapi Kyuhyun tahu apa yang dicari gadis ini. Dan dia jujur. Bahkan sekalipun ia termasuk kategori pria brengsek, itupun memang dirinya. Jadi ia membiarkan Helena memandangnya, sekaligus membiarkan matanya menelusuri kedua mata hijau milik gadis itu. Sejenak ia tertegun: bagaimana mungkin ia melupakan mata ini? Meskipun ruangan di Tottenham Court saat itu memang gelap, tapi Kyuhyun sadar ia tidak sepenuhnya melupakan kedua mata yang kini sedang menatapnya.

 

Mata gelap yang memabukkan itupun tak pernah benar-benar Helena lupakan. Tentu saja karena itu yang pertama baginya. Dan hanya Kyuhyun, satu-satunya pria yang bisa sedekat apapun dengannya.

 

Dan sekarang, ketika sekali lagi mereka bisa berada sedekat ini, salahkah jika…

 

Tangan kanan Kyuhyun sudah terangkat untuk menyentuh pipi kiri Helena, menyapukan jemarinya dengan ringan di sana, sedangkan tangan kirinya terayun untuk menyentuh pinggan gadis itu.

 

Helena tidak menghindar. Dia diam, tatapannya masih beradu dengan mata Kyuhyun. Dan ketika ia sadar ia berada dalam sebuah kesalahan yang lain, tapi toh ia menutup mata juga ketika wajah Kyuhyun makin lama makin dekat dengan wajahnya. Otaknya juga segera mengulang memori di malam itu, ketika bibir mereka bertemu untuk pertama kalinya dalam ciuman lembut yang lambat laun bertempo dahsyat.

 

Kini pun bibir mereka bertemu. Sekali lagi. Dalam ciuman yang juga lembut, tapi ini lebih lembut. Lebih berperasaan dan seakan terdapat suatu perasaan lain yang entah kenapa terasa hangat bagi keduanya.

 

Tapi tidak bisa lagi!

 

Ini salah.

 

Dan Helena mundur selangkah untuk membebaskan apapun dari diri mereka yang sebelumnya saling terkait. Meskipun wajahnya memerah, tapi ia berusaha memandang Kyuhyun. “Tentu saja. Akan kupastikan kau mengetahuinya ketika bayi ini lahir. Yah, begitulah. Jadi, sampai jumpa bulan depan ya,” ucap Helena sembari tersenyum canggung, kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Kyuhyun.

 

Meninggalkan Kyuhyun yang seketika merasa dicampakkan. God damn it!

 

 

Helena terus berjalan menuju ke arah manapun kakinya melangkah. Hatinya bergemuruh, otaknya linglung, dan matanya sudah siap menangis. Ini tidak benar. Kau keterlaluan, Helley! Apa-apaan yang tadi itu? Kau merusak segalanya. Kau sudah merusak impianmu, dan sekarang bahkan kau juga merusak masa depan barumu?

 

Dan seketika pandangannya kabur, seiring dengan rasa sakit yang dahsyat yang berasal dari perutnya. Ya Tuhan, sesuatu bergerak dan mendorong di dalam perutnya. Apakah anaknya akan lahir? Tapi dokter bilang waktunya adalah bulan depan. Bagaimana ini?

 

“Helena!”

 

Suara Kyuhyun secara ajaib menjadi penghalang bagi desakan untuk pingsan. Ia hanya… limbung. Dan Kyuhyun menahannya dengan sempurna.

 

“Kau kenapa? Kau bilang kau baik-baik saja,” kata Kyuhyun panik, walau satu per satu dari orang-orang di pernikahan itu juga ikut panik.

 

“Sakit. Demi Tuhan, Kyuhyun, perutku sakit,” jawab Helena lirih dan mulai menangis.

 

“Apa dia akan lahir?”

 

“Tidak mungkin. Dokter bilang masih bulan depan. Tapi ini sakit… Kyuhyun, ini sakit.”

 

Persetan. Aku harus segera membawanya pergi dari sini.

 

Kyuhyun merasa tak perlu meminta pertimbangan siapapun ketika ia sudah membopong Helena dan berjalan secepat mungkin ke mobilnya. Ia pun tidak peduli ketika orang-orang meneriakkan ini dan itu, atau mendengar dengan jelas suara Jordan dan Lidya yang menyerukan nama anak mereka. Yang diketahuinya sekarang adalah Helena yang mengerang kesakitan dengan suara tangisnya dan keringat dingin yang mulai membasahi gaun gadis itu. Juga suara lirih Helena yang terus memanggil namanya. Hanya namanya.

 

Kyuhyun.

 

 

Pelajaran #15: Babak Baru

 

Perjalanan menuju rumah sakit terdekat saat ini menjadi yang paling dibenci Kyuhyun selama hidupnya. Dan untuk pertama kalinya ia membenci desa karena rumah sakit yang letaknya seperti di ujung dunia.

 

Helena duduk di sampingnya, mengerang dan menangis dan sesekali memanggil namanya untuk memberitahunya bahwa dia sedang kesakitan. Tapi ia tak pernah menyahut. Untuk apa? Lagipula, apa yang harus ia katakan? Bagaimana menenangkan seseorang dengan situasi seperti ini? Sial, dia belum pernah mengalaminya! Dan berani taruhan seluruh hartanya, Kyuhyun mungkin akan lebih memilih untuk menghadapi krisis anjloknya saham Samsung di Inggris Raya dibanding yang seperti ini.

 

Tapi itu tak mungkin terjadi kan? Sahamnya toh masih baik-baik saja, dan Helena tetap merintih dan menangis. Jadi Kyuhyun mengikuti nalurinya dengan mengangsurkan tangan kanannya yang bebas kemudi untuk menggeggam tangan kiri Helena, berharap—paling tidak—gadis itu bisa merasakan kehadirannya.

 

Batinnya berhenti mengumpat manakala Kyuhyun menjumpai sebuah klinik kecil di kanan jalan. Ya Tuhan, bahkan setelah sejauh ini kami hanya bertemu klinik kecil? Lihat saja, aku tak kan pernah membiarkan mereka hidup jika mereka tak bisa segera menolong Helena!

 

 

Dan sebenarnya, Kyuhyun sungguh-sungguh tidak memikirkan orang lain selain Helena. Itulah alasan kekagetannya ketika beberapa menit kemudian orangtua Helena tiba di klinik.

 

“Bagaimana Helley?” tanya Jordan panik, lupa kepada segelintir pertanyaan interogasi yang ingin diklarifikasinya dengan pria Asia di depannya ini.

 

“Dia di dalam. Ada dokter di sana.”

 

Jordan ingin bicara lagi ketika Karin Hallmark keluar dari ruang rawat Helena. “Helena akan melahirkan sekarang.”

 

“Apa?”

 

“Kau diminta masuk,” kata Karin singkat tanpa mempedulikan reaksi orang-orang di ruang tunggu. Dan itu ditujukan untuk Kyuhyun.

 

“Tapi dia bukan siapa-siapa,” protes Jordan tidak terima.

 

Untuk saat ini otak Kyuhyun bekerja seribu kali lebih cepat. Oke, ia mengakuinya. Ia memikirkan gadis itu selama ini karena ia menginginkannya. Dan ia menginginkannya karena… ia mencintainya. Konyol. Tapi mungkin saja, setelah ciuman singkat dan debaran panjang hari ini.

 

Dan Kyuhyun tahu ia harus mengatakan ini pada Jordan:

 

“Kau boleh membunuhku setelah ini, tapi dia membutuhkanku. Maafkan aku, Tuan Lively. Tapi aku ayah bayi itu.”

 

Setelahnya Kyuhyun melesat memasuki ruangan untuk melakukan apapun yang ia mampu demi Helena dan anak mereka.

 

Well, welcome to the world!

 

 

 

_____ the end _____